Wisata Goa Kreo Konon Kera-kera Disini Pengikut Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang

Wisata Goa Kreo Konon Kera-kera Disini Pengikut Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang 


Goa Kreo adalah salah satu objek wisata yang terletak di Kelurahan Kandiri Kecamatan Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah. Goa Kreo merupakan goa tempat hidupnya ratusan ekor kera yang jadi obyek wisata, kera-kera disini cukup baik tidak suka mengambil barang para pengunjung. Mungkin karena kera-kera di gunung kreo konon dulunya adalah para pengikut Sunan dan Wali.

Legenda Goa Kreo berdasarkan informasi yang saya dapat dari guide bernama Bapak Syafei, dulunya goa ini sebagai tempat petilasan Sunan diantaranya Sunan Kalijogo, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati. Sunan-sunan tersebut ingin membangun sebuah Masjid di daerah Demak dengan menggunakan batang pohon sebagai pondasi.


Ketika batang ingin ditebang oleh para sunan, kejadian aneh terjadi dimana batang tidak bisa ditebang. Dalam perjalanan, Sunan bertemu dengan kawanan kera ekor panjang. Mereka pun saling berkomunikasi. Kera yang ditemui memiliki warna bulu yang berbeda, ada warna hitam, putih, kuning dan merah. Masing-masing warna memiliki arti tersendiri. Kera hitam melambangkan tanah yang subur, kera putih melambangkan kesucian, kera kuning melambangkan angin dan kera merah melambangkan keberanian.

Kawanan kera mengajak Sunan ke sebuah tempat untuk meminta petunjuk Yang Kuasa. Dalam persemediannya, sunan diberikan petunjuk agar batang pohon bisa ditebang. Sunan pun kembali ke dalam hutan untuk menebang batang dengan menggunakan selendang yang dibawanya. Seketika itu, batang pohon berhasil ditebang. Lalu, batang dibelah menjadi dua bagian dan dibawa ke tempat persemedian. Keesokan harinya, Sunan membawa kembali batang tersebut menuju Masjid.

Kawanan kera saat itu ingin ikut dengan para Sunan. Akan tetapi, Sunan tidak mengijinkan kawanan kera untuk ikut. Sunan menitipkan amanah untuk kawanan kera agar menjaga tempat ini (yang sekarang dikenal dengan nama “Goa Kreo”). Kera pun menuruti kata-kata Sunan. Dalam perjalanan, batang yang dibawa oleh para Sunan terjatuh dan tenggelam. Namun, batang sisanya tertanam (ditancapkan) yang dikelilingi oleh pohon kecil bernama Pohon Kerinci.

Semasa hidupnya, Sunan suka dengan makanan sate kambing. Sampah berupa tusukan sate dibuangnya ke tanah dan tumbuh menjadi bambu yang tercium seperti bau kambing. Bambu tersebut kini dijaga dan dipelihara oleh warga sekitar. Goa Kreo yang hingga saat ini dijaga oleh ±650 ekor kera panjang yang konon jumlahnya tetap (konstan) tidak bertambah dan berkurang.

Warga tidak pernah menemukan bangkai kera yang mati. Kawanan kera membagi kelompoknya menjadi 2 kubu yaitu kubu atas dan kubu bawah. Masing-masing kubu mempunyai 2 raja. Alasan kenapa kera tidak boleh disentuh atau dipegang karena selalu dilindungi oleh rajanya. Rajanya akan marah, jika anak buahnya disentuh.

Kera disini mudah sekali berinteraksi dengan para pengunjung. Setiap bulan Syawal di Goa Kreo digelar tradisi Sesaji Rewondo, sebagai bentuk rasa peduli terhadap kera-kera dengan memberinya makan. Makanan (layak seperti makanan manusia) yang khusus diperuntukkan oleh kera tidak boleh dimakan oleh manusia.

Pernah kejadian ada yang memakan makanan tersebut tiba-tiba merasakan hal aneh pada dirinya. Fisik Goa Kreo yang saya lihat beberapa waktu lalu masih terjaga dengan baik walaupun ada coretan tangan jahil para pengunjung. Hingga saat ini, masih ada segelntir orang yang melakukan semedi di dalam goa mulai pukul 24.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB.

Guide saya menuturkan bahwa ketika dia memasuki goa ini (meskipun sudah berkali-kali), rasa merinding terkadang muncul. Dan saya mendapatkan kejadian aneh, ketika saya memasuki goa di samping hawa yang beda, tiba-tiba kamera ponsel saya tidak bisa digunakan saat ingin memotret. Goa Kreo ini memiliki kedalaman 7m.

Masih dalam satu tempat yang sama, adapun goa lain yang berada di sisi kiri Goa Kreo yaitu Goa Landak dengan kedalaman 8m. Goa Landak konon katanya, goa yang dahulu dihuni oleh putri landak dan kawanan hewan landak.

Tapi saat ini goa tersebut sudah kosong, tidak ada hewan landak yang hidup. Sehabis dari goa, selanjutnya saya diajak oleh guide (Pak Syafei) ke atas untuk menyusuri kawasan ini lebih dalam. Tanjakan ke atas lumayan bikin saya capek, tapi pemandangannya bagus dan tidak boleh dilewatkan. Bagian atas, saya ditunjukkan dan diceritakan oleh Pak Syafei tempat yang biasa digunakan oleh warga untuk reriuangan selametan yang diadakan setiap Selasa kliwon dan Jumat kliwon. Lalu, Pak Syafei pun bercerita tentang lumbung padi yang dahulu dibawa oleh warga sekitar (jaman sunan). Lumbung yang berbahan dasar batu sebanyak 3 buah dipikul oleh warga berjumlah 9 orang. Tidak kuat menahan beban yang dibawa, lumbung tersebut pun ada yang terbelah dan hingga saat ini belahannya belum ditemukan.

0 komentar: