Wisata Religi Makam Sunan Ampel: Sejarah sunan Ampel dan Wali Songo
Wisata Religi Makam Sunan Ampel: Sejarah sunan Ampel dan Wali Songo
pintu masuk area makam sunan ampel
1. Sejarah Sunan Ampel
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Sejarah singkat Sunan Ampel datang ke Nusantara yaitu ketika Prabu Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ”kesibukan” harian kaum bangsawan –pun rakyat kebanyakan. Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ”Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,” kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ”Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,” Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa –kini wilayah Kamboja.
peta makam sunan ampel dalam kota suranaya
Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 –tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah). Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit. Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.
Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah. Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak.
Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel. Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang –dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa. Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ”salat” diganti dengan ”sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ”langgar”, mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri –orang yang tahu buku suci agama Hindu.
Siapapun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ”Sunan Ampel” mulai populer. Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina).
Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya. Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim). Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus. ”Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?” kata Sunan Ampel. ”Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.” Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga.
Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak. Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa. Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda.
Ketika Sunan Ampel wafat, kematiannya sangat menyedihkan dan mengharukan bagi umatnya dan ditangisi sepanjang upacara pemakamannya, karena Sunan Ampel dianggap sebagai seorang guru yang pengaruhnya sangat besar dalam penyiaran agama Islam di pulau Jawa. Tanggal wafat Sunan Ampel kurang jelas. Menurut Serat Kanda, Brandes; Pararaton, dan dalam VBG XLVII, 1986, wafatnya Sunan Ampel dinyatakan dengan candrasengkala: “awak kalih guna iku” yang nilainya 1328 (dibaca dari belakang), jadi pada tahun 1328 Saka atau 1406 M. Meskipun demikian, ada yang berpendapat lain tentang tahun kewafatannya. Menurut Sidi Gazalba Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M. Hanya Allah yang tahu kapan Sunan Ampel wafat, yang pasti jasa-jasa Sunan Ampel sangat besar bagi penyiaran agama islam khususnya dipulau Jawa.
Makam sunan ampel salah satu dari wali songo
2. Sumber-sumber Sejarah yang Berupa Bangunan Makam
Di makam sunan ampel terdapat banyak sekali sumber-sumber sejarah yang tertinggal, diantaranya yaitu peninggalan bentuk nisan makam-makam yang ada disekitar makam Sunan Ampel. Bentuk bangunan makam yang berupa nisan memiliki ciri khas tersendiri dan berbeda dengan bentuk nisan makam yang ada saat ini. Makam sunan ampel sendiri dibangun di sebelah utara komplek pemakaman, dan makamnya dibatasi oleh pagar yang terbuat dari alumunium. Bangunan makam sangat terawat dan terlihat bersih sehingga membuat peziarah khusuk jika melayat ke makam sunan Ampel. Di samping kiri makam Sunan Ampel yaitu makam istri Sunan Ampel yang bernama Nyai Candrawati. Makam yang pertama kali ada di komplek makam itu yaitu makam dari Sunan Ampel.
Kemungkinan makam yang ada di komplek makam yaitu ada dua diantaranya yaitu keluarga Sunan Ampel, dan yang kedua yaitu harta benda atau artefak-artefak berharga yang disembunyikan.
Makam Raden Muhammad Ali Rahmatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel, terletak di belakang mesjid. Untuk mencapai makam harus melewati sembilan gapura, sesuai arah mata angin, yang melambangkan wali songo atau sembilan wali. Tiga gapura merupakan bangunan asli peninggalan Sunan Ampel. Makam Sunan Ampel bersebelahan dengan makam istri pertamanya yakni Nyai Condrowati, yang merupakan keturunan Raja Brawijaya Lima.
Di komplek makam ini terdapat juga makam para pengawal dan pengikut Sunan Ampel. Diantaranya makam Mbah Soleh yang berjumlah sembilan. Konon Mbah Soleh meninggal sembilan kali, karena itu makamnya ada sembilan. Selain itu, terdapat juga makam Mbah Bolong. Semasa hidupnya Mbah Bolong yang memiliki nama asli Sonhaji ini, ahli dalam menentukan arah mata angin. Terutama untuk menentukan arah kiblat. Di tempat ini juga terdapat petilasan Sunan Kalijaga, yang ramai dikunjungi para peziarah. Diarea makam juga terdapat makam dari KH mas mansyur yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel dan juga sebagai salah satu panitia BPUPKI. Wisata ziarah religi Sunan Ampel mulai digalakkan sejak tahun 1972, setelah diadakannya haul atau peringatan hari wafat Sunan Ampel untuk pertamakalinya.
Pengelola Makam juga menyediakan air keramat diambil dari sumur tua (peninggalan Sunan Ampel) yang dialirkan kedalam kendi untuk diminum, sebagian orang meyakini bisa menyembuhkan segala macam penyakit dan dapat membuat orang awet muda. Fasilitas lain di area makan tersedia toilet, tempat pakir dan buku sejarah Sunan Ampel. Ketika memasuki Makam ada larangan untuk pengunjung melepas sepatu dan sandal, dilarang mengambil gambar di area Makam, tidak boleh sholat diarea Makam, khusus untuk kaum hawa diwajibkan menggunakan kerudung. Pengunjung Wisata Religi setiap hari Senin sampai Kamis mencapai 1500 orang per hari sedangkan malam Jumat Kliwon mencapai sepuluh bus dari berbagai kota Kabupaten di Jawa Timur seperti: Lamongan, Malang, Tuban, Kediri, Pasuruan, Probolinggo, bahkan dari Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jakarta untuk melakukan Ritual di Makam Sunan Ampel.
3. Sumber- sumber Sejarah yang Berupa Bangunan masjid
Di tempat ini juga terdapat masjid peninggalan Sunan Ampel. Bangunan utamanya sudah empat kali dipugar. Awalnya Sunan Ampel mendirikan masjid ini di atas lahan seluas dua ribu meter persegi pada tahun 1421 Masehi. Setelah dipugar, komplek masjid Sunan Ampel kini memiliki luas sekitar setengah hektar. Keunikan dan nilai sejarah masjid ini terletak pada 16 tiang penyangganya yang terbuat dari kayu jati berukuran 17 meter tanpa sambungan.Tiang penyangga ini hingga kini masih kokoh, padahal umurnya sudah lebih dari 600 tahun. Di tiang penyangga terdapat ukiran-ukiran kuno peninggalan zaman Majapahit yang bermakna Keesaan Tuhan. Masjid ini memiliki 48 pintu yang masih asli, dengan diameter satu setengah meter, dan tinggi dua meter.
Bangunan lain yang menjadi ciri khas masjid ini adalah menara setinggi 50 meter. Dahulu, menara ini berfungsi sebagai tempat adzan. Di sebelah menara terdapat kubah berbentuk pendopo jawa, dengan lambang ukiran mahkota berbentuk matahari, yang merupakan lambang kejayaan Majapahit. Di tempat ini juga terdapat sumur bersejarah. Namun kini sudah ditutup dengan besi.Air sumur ini dipercaya memiliki kelebihan seperti air zamzam di Mekkah. Khasiatnya beragam, diantaranya dipercaya dapat menjadi obat. Para peziarah sering membawa air ini sebagai oleh-oleh. menurut juru kunci bernama HM Suryansyah, banyak peziarah percaya air sumur memiliki khasiat untuk menyembuhkan orang sakit.
Benda lainnya yang masih tampak asli adalah Mihrab tempat Sunan Ampel memberikan ceramah semasa hidupnya. Mihrab ini sudah rapuh, sehingga tidak dipergunakan lagi. Begitu pula dengan beduk kecil ini, sudah jarang dipukul. Karena usianya sudah ratusan tahun.Pada bulan ramadhan ini para peziarah semakin banyak yang datang. Mereka datang untuk mendo'akan Sunan Ampel, sekaligus menghormatinya, sebagai salah satu sunan yang menjadi penyebar agama Islam.
Karakter Islam telah ditunjukkan oleh keberadaan masjidnya yang besar dan terus mengalami pemugaran. Hal ini mengingat lokasinya yang dekat dengan pasar dan juga sebagai tempat aktivitas Ziarah. Tampilan bangunan masjid tampak megah dilengkapi pula dengan menara. Rancangan arsitektur tradisional masih terlihat yaitu beratap tumpang tiga dan ruang utamanya berdenah bujur sangkar yang dilengkapi dengan sokoguru. Kekunoan yang masih tampak ada pada mimbarnya yang dihiasi dengan motif burung garuda. Motif yang lain terdapat pada plengkung mimbar dihiasi pula medallion dan daun-daunan serta ‘matahari/sinar Majapahit”.
Ragam hias yang memenuhi bidang mimbar tersebut tidak hanya terkait dengan simbol-simbol keislaman tetapi estetikanya merefleksikan esensi local yang bersumber pada konsep kosmologis. Tema tentang burung banyak dijumpai pada syair-syair bernafaskan Islam terutama syair sufi dan juga cerita tentang nabi Sulaiman yang dapat memahami ucapan burung. Seringkali motif burung ini dihubungkan dengan ucapan burung yaitu pancaran atau bisikan halus dari Allah untuk nabi Muhammad. Pancaran dan bisikan halus Allah tersebut merupakan wahyu yang berisi pedoman hidup manusia agar memperoleh keselamatan. Pedoman hidup berisi aturan-aturan yang merupakan usaha manusia untuk melepaskan diri dari sifat dan nafsu dunia guna mencapai tujuan tertinggi, yaitu manusia sempurna. Pada masa Klasik, motif burung dalam penggambarannya kadang-kadang hanya berupa sayap dan banyak menghiasi candi. Dalam seni patung, sering dihubungkan dengan kendaraan Dewa Wisnu. Biasanya motif ini dihubungkan dengan konsep pelepasan.
Yang menarik dari mimbar ini adalah adanya motif matahari atau yang dikenal juga motif “surya Majapahit”. Dilihat dari fungsinya, hiasan motif ini mempunyai arti sesuai dengan penggunaannya. Yang pertama sebagai pengakuan atas religia Majapahit, mengingat bahwa Sunan Ampel berada dalam satu kurun waktu dengan masa akhir Majapahit sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit masih terasa. Tetapi boleh jadi relief matahari ini merupakan lambang supranatural, kesaktian atau merupakan magico religious, karena terkait dengan tokoh sentral yang dimakamkan di sini yaitu Sunan Ampel merupakan orang yang diagungkan. Namun ada juga tafsir yang lain, bahwa hiasan surya Majapahit yang terdapat pada makam para wali, sudut-sudut yang merupakan puncak sinar pada hiasan itu berjumlah 8 buah, diduga melambangkan kosmogoni, tetapi juga merupakan lambang para wali itu sendiri yang merupakan penyebar agama ke delapan penjuru di Pulau Jawa dengan para wali itu sendiri sebagai pusatnya (8 penjuru angin + 1 wali sebagai pusatnya), jumlah walisongo.
Menurut juru kunci masjid struktur masjid menurut sumber-sumber akademik, masjid ampel arsitekturnya lebih dominan mengikuti peninggalan hindu dan islam. Hal ini tidak terlepas dari cara mengajar Sunan Ampel yang selalu mengadopsi kegiatan agama hindu atau budha untuk menarik jamaahnya waktu itu. Masjid ini seperti halnya bangunan-bangunan Jawa kuno. Tiang-tiang masjid memiliki unsur arsitektur Belanda dan Cina. Masjid setiap kali mengalami pemugaran mengingat usianya yang sudah tua, namun pemugaran itu tidak menghilangkan keaslian bangunan masjid. Menurut data yang objektif terakhir kali masjid mengalami pemugaran yakni pada tahun 1800M, yang pada saat itu Indonesia masih dipimpim oleh seorang Adipati. Didalam majid terdapat sumur yang airnya dianggap suci dan letak sumur itu sendiri terletak disebelah tiang menara masjid. Sumur sendiri menjadi pembangunan utama yang dilakukan oleh Sunan Ampel, karena air merupakan kebutuhan pokok masyarakat pada waktu itu.
0 komentar: